Thursday, August 31, 2006

Death....

Setelah mengalami masa hibernasi panjang (Gile !ampir dua bulan neh!), dalam rangka memperingati hari kemerdekaan, gue memutuskan buat bikin sketsa-seketsa tulisan pendek lagi

Kali ini gue pengen bicara tentang kematian. Hal satu ini selalu bikin gue gagu, hampir sama dengan siklus gue menghadapi setiap jenis kepedihan lainnya, gue punya satu ‘SOP’ (standar prosedur operasi) yang cukup konsisten tanpa anomaly. Begitu gue dapet berita, tahap pertama adalah mem-blok semua bentuk emosi hingga yang ada adalah rasa kebas yang kosong. Kondisi ini memungkinkan gue untuk melakukan tindakan emergency atau hal-hal lain yang membutuhkan otak. Setelah itu selesai, emosi gue yang ‘telmi’ itu baru akan menyeruak dan menguasai gue. Biasanya ini terjadi pada saat yang lain udah pada tenang hehehe…

Kemaren, temen sekantor gue mendadak meninggal dunia. Setelah badai emosi di kantor mereda, kita menuju rumah duka dan tinggal di sana untuk beberapa waktu. Dalam kondisi yang masih kebas dan ‘otak oriented’, gue amati ada beberapa hal yang hampir selalu gue temuin pada kematian

Keluarga yang ditinggalkan sibuk dengan kesedihan mereka sendiri di tinggalkan almarhum (sounds a bit egoistic isn’t it?)
Tamu-tamu yang datang dengan muram tapi kebanyakan end up dengan reuni dan chit chat yang gak ada hubungannya ama occasion itu instead of focus sama almarhum dengan ngebanyakin doa misalnya (aduh judging ya gue, doa kan gak perlu bilang-bilang ya..hehehe)
Keluarga dan lingkungan dekat yang sibuk membahas firasat, kronologis, mencoba membuat scenario yang menghubungkan keduanya (kadang terdengar sok tau banget, agak maksa, dan gak penting banget gitu lhoh)
Kerepotan administrasi dan detail upacara

Overall, suasana cukup rame dalam atmofer kemuraman yang khas di selingi senangnya reuni-reuni kecil yang jadi blessing tersendiri karena silaturahmi jadi hal yang kesekian di hari-hari sibuk kita. But the corps and the soul will remain in it’s tranquil world, alone, and helpless…more often it’s just become media or reason for people to gather. Am being too sarcastic here, am I? But even for the family, they’re sometimes more busy dealing with them self in facing all the consequences ahead by the loss, what ever it is.

Pada akhinya kita memang melangkah sendiri. Kalo kita beruntung, banyak teman, keluarga besar and relasi datang melayat (semoga banyak yang mendoakan dan men-shalatkan), tinggal sebentar di rumah duka dan sebagian ikut ke pemakaman. Keluarga inti akan menemani hingga tanah selesai di tata, mengirim doa ato meminta orang lain untuk berdoa (ke takmir masjid ato forum pengajian setempat ). Dan akhirnya frekuensi melayat dari tiap hari sampai setidaknya sekali setahun…dan akhirnya mereka pun melanjutkan kehidupan mereka. Kita akan tinggal dalam dunia kenangan, sesekali teringat (semoga ada doa tiap kali teringat), dan kemudian hilang lagi di bawah sadar dan kabur di antara gemerlap lampu kota.

Apa pun yang menjadi justifikasi setiap tindakan kita selama bernapas, akan tertinggal di alam yang berbeda pada saat kita mati. Pada akhirnya kita pasti sendiri, tidak pacar, istri, suami, selingkuhan, ibu kos atau siapa pun bisa ikut bertanggung jawab dan menemani. Dan kita terkejut bahwa dunia bisa sangat mudah tetap berputar, bersinar, membangun cerita..tanpa kita. Hukum alam, selalu ada yang baru, selalu berubah, selalu berputar.

No comments: