Monday, June 23, 2008

Transparansi Keuangan Domestik dan Stabilitas Akomodasi Kepentingan



Salah satu potongan hasil ngerumpi ama temen-temen lama gue berapa waktu lalu menyentuh wilayah transparansi manajemen keuangan dan asset keluarga selagi kita ngebahas kegiatan investasi.

Cerita dimulai dengan salah satu beliau yang dengan wajah sumringah menceritakan salah satu insiden internal di rumah dia, “Pernah suatu waktu Air di rumah gue mati, nah gue ajak deh istri gue ke rumah gue yang laen di bilangan xxx. Kebetulan gue gak pernah bilang tuh gue punya rumah di situ, walhasil istri gue malah pulang lagi ke rumah dan nangis karena gue ga pernah bilang gue ada rumah lagi…” Gue yang ngakak denger insiden ironis itu kontan merespon, “ Jadi loe selama ini ga pernah bilang lu ada rumah laen??? Gila loe ya, pantes aja istri loe marah dan insecure!! Dia pasti langsung mikir lagi, apalagi yg loe sembunyiin atau ga di declare ke dia kalo rumah aja loe ga bilang (buat most people rumah adalah suatu hal yang cukup besar dan signifikan toh) . Gue tau deh loe mapan, tapi tetep dunk… “ (emosi spontan solidaritas kaum wanita)

Nah Beliau ini langsung dengan semangat mempertajam arah pembicaraan, “ Nah ini.. Gue ga setuju banget tuh dengan kesalah kaprahan pemahaman sekarang bahwa semua penghasilan suami harus di serahkan atau di declare ke istri. Konsep basicnya adalah Suami harus menafkahi istri dan mencukupi kebutuhannya lahir dan batin. Itu aja! Selama kebutuhan istri terpenuhi, apa yang dia minta tercukupi yah tunai sudah” Statement di tutup dengan senyum manis bijaksana pada wajah yang merefleksikan kepercayaan diri penuh. (tambahan fakta untuk kasus ini : istri tidak dalam posisi bekerja sedemikian rupa sehingga sejajar sama suami yang sukses membina beberapa perusahaan sekaligus menjadi tokoh yang cukup di perhitungkan di dunia bisnis financial)

Gue yang langsung mules ga trima, protes kenapa harus begitu, bukannya suami istri adalah partner yang harus saling terbuka dalam segala hal dan menjalani kebersamaan secara equal. Beliau ngeliatin gue sebentar sebelum menjawab dan mengawali justifikasi dia dengan statement yang bikin gue nggak suka tapi susah gue bantah, “Loe kan belum married Lin…” (ihh deh penting banget ya di pertegas) , “ Konsep extended family dalam berkeluarga sering bersentuhan dengan implikasi financial. Kadang ada kewajiban-kewajiban financial yang harus kita penuhi kepada keluarga besar kita dan pasangan kita. Nah dengan membatasi visibility pasangan pada peta keuangan dan alokasi dana, kita bisa mengurangi friksi yang mungkin timbul karena itung-itungan gedean mana financial aid ke masing-masing keluarga besar. Kalo ngomong masalah ‘Adil’, buat gue yah adil kalo gue ngasih ke nyokap dan adik adik gue lebih besar. Atau bisa saja pas dari sisi keluarga pasangan membutuhkan, kebetulan kondisi kita tidak memungkinkan. Belum lagi kalau kita punya lebih dari satu pasangan ..yang penting kan masing-masing tercukupi dan sejauh mungkin mereduksi potensi konflik karena komparasi alokasi rejeki. Toh kebutuhan tiap orang lain-lain, jadi gak selalu fair di perbandingkan. Gue gak ngerti kenapa istri gue harus nangis, kan itu Cuma asset yang tidak terdeclare, bukannya gue bawa ke rumah itu trus ada penghuninya lengkap dengan anak-anak kecil yang gue kenalin ke anak gue sebagai saudara tiri dia toh..” di sampaikan tetap dengan senyum manis (tambahan fakta: Beliau adalah pendukung poligami yang dari mula sudah ambil langkah strategis cari istri yang setuju dengan poligami walaupun sampai sekarang belum terealisasi).

Pembahasan subject di atas walaupun singkat, cukup bikin gue terusik (as expected). Gue jadi inget ada temen cewek gue yang setengah mati berusaha memenuhi krisis financial keluarga dia dan stress sendiri gimana ngomonginnya ke suami. Intinya, menyebalkan sekali dalam posisi bergantung ke orang lain dan tidak punya kemerdekaan atau control financial yang kadang di perlukan ke keluarga sendiri. Juga gue gak suka dengan ide tinggal satu rumah dengan orang yang punya banyak sisi kehidupan yang nggak gue tau.

Kalau memang harus begitu, setidaknya posisi harus equal dunk, dalam artian pasangan dalam kondisi equal untuk punya sisi-sisi privacy dan otoritas manajemen keuangan. Masing-masing pasangan harus meraih kemandirian financial dan kesetaraan yang mungkin akan berakibat pada terkorbankannya kehidupan si anak. Nah kalau dalam satu sisi, pasangan dedicated untuk ngurus masalah domestic yang implikasinya dia gak punya kesempatan untuk mencapai kemerdekaan financial, pasangan lainnyanya harus fair enough untuk untuk kasih akses ke hasil pencapaian dia di luar rumah. Toh yang terjadi pada hakikatnya adalah implikasi dari pembagian role di keluarga yang setara (harus ada yg cari nafkah dan harus ada yang lebih focus ke domestic dan terlibat di perkembangan anak secara optimal)

Nah mengingat kondisi ideal adalah opsi yang jarang dalam kehidupan, gue jadi berasa insecure untuk meninggalkan kemandirian gue.. lebih kepada gue merasa gak mau dan gak mampu untuk berada dalam posisi di marjinalkan…(pertarungan ego yang terus berjalan)

Hmm… ketidakseimbangan financial dalam satu keluarga (gap yang begitu lebar antara kondisi financial suami istri) kadang adalah cobaan tersendiri yang merupakan salah satu factor hilangnya kehangatan cinta dan ketenangan….

So… how do you guys manage your finance in the family??






2 comments:

Anonymous said...

ha..ha..sebagai peserta di diskusi seru itu, gw menyatakan memang menarik untuk mengetahui berbagai sisi pandang terhadap suatu topik .

Anonymous said...

Hi Alina. Remember me?hehehe, sbnrnya aku pembaca setia, tp br skrg nyumbang komentar hihihi.
Aku setuju banget dgn pendapat Alina, entah krn aku jg seorang wanita atau pemikiran kita sdh terlalu westernized (sebab budaya timur kn memang tdk menaruh posisi istri sbg equal partner dlm rmh tangga). Lagian juga aku dan suami berasal dr latar blkg keluarga dmn sang suami menawarkan transparansi finansial pd istri. dari sisi latar blkg keluarga suami bahkan sang istri diberikan kontrol penuh atas seluruh pendapatan suami. jd konsep kita berdua ttg entitas keluarga adl sebuah equal patrnership utk mencapai common goal, misalnya saat ini adl membesarkan dan mndidik anak. ada pembagian tugas siapa mesti melakukan apa, siapa momong anak, siapa jd bread winner. tp walau bgmnpun keduanya equal, tdk ada yg lbh berharga, lbh sukses, lbh pantas dihormati, semuanya sama (lg pula jd housewife itu lbh berat dr krja kantoran; 24hour non stop, weekend expected,multitasking required,patience n tolerance expected but not required :p).apapun pencapaian suami d bdg finansial tentu saja mengalir utk kelangsungan keluarga (alias istri plus anak) dan segalanya dbahas bersama (with us being equal patrners and all), trmasuk dlm hal menolong keluarga besar masing2. entah knp jd ingat sistem kerja sarang lebah hihihi. so, in my world cr berpikir tmn Alina itu unacceptable.namun sayangnya msh byk pria indonesia yg menganut pemikiran ini :(, pdhl mengaku diri sendiri manusia modern